Sengketa Tanah di Labuan Bajo, Kuasa Hukum Penggugat Hadirkan Ahli Adat dan Ahli Hukum

Koran-beritaindonesia.online | LABUAN BAJO – Persidangan sengketa tanah di wilayah Wae Cicu, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, kembali digelar di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Selasa (14/10/2025).

Dalam perkara perdata bernomor 27/Pdt.G/2025/PN.LBJ tersebut, kuasa hukum penggugat, Dr. Endang Hadrian, S.H., M.H., yang mewakili Ibu Lilianny menghadirkan dua ahli untuk memperkuat argumentasi hukum kliennya.

Dua ahli yang dihadirkan adalah ahli adat, Kanisius Teobaldus Deki, dan ahli hukum perdata, Husni Kusuma Dinata, S.H., M.H.

Kehadiran keduanya dinilai penting untuk mengurai akar sejarah kepemilikan tanah di wilayah adat Keduluan Nggorang, yang menjadi objek sengketa.

Menurut Endang, tanah yang diklaim oleh kliennya, Ibu Lilianny, merupakan tanah ulayat yang telah diberikan secara sah oleh dua fungsionaris adat, kedaluan Nggorang, yakni Dalu Ishaka dan Haku Mustafa kepada Yenny Herlina Gaspar lalu Herlina menjual tanah tersebut kepada Ibu Lilianny.

Dia menilai bahwa klaim kepemilikan tergugat, yang mendasarkan hak atas tanah hanya melalui penguasaan fisik oleh orang tua, tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

“Tanah ini memiliki garis sejarah adat yang jelas dan telah melalui mekanisme adat yang sah. Posisi klien kami diperkuat oleh fakta bahwa tanah tersebut diberikan langsung oleh fungsionaris adat yang berwenang kepada Yenny Herlina Gaspar dan Yenny menjual tanah tersebut ke klien kami ” jelas Endang.

Dalam keterangannya di persidangan, ahli adat Kanisius Teobaldus Deki menyampaikan bahwa setiap kepemilikan tanah di wilayah Kedaluan Nggorang harus melalui pemberian langsung dari para fungsionaris adat.

Dia juga menjelaskan bahwa untuk individu, luas tanah yang diberikan biasanya berkisar antara satu hingga tiga hektare, sedangkan tanah seluas lima hektare atau lebih hanya diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan.

Sementara itu, ahli hukum perdata Husni Kusuma Dinata menegaskan bahwa dari aspek hukum formal, posisi penggugat cukup kuat karena tanah tersebut telah bersertifikat dan proses jual belinya dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Namun ia mengingatkan bahwa sertifikat hak milik tidak selalu menjadi bukti mutlak atas kepemilikan jika dikemudian hari ditemukan cacat hukum melalui putusan pengadilan.

“Dalam konteks hukum positif, sertifikat memang alat bukti yang sah tapi jika proses perolehannya bertentangan dengan hukum atau ada pelanggaran dalam prosedur, maka kekuatan hukumnya bisa dibatalkan melalui putusan pengadilan,” terang Husni.

Kuasa hukum penggugat kembali menegaskan bahwa lokasi tanah yang disengketakan benar-benar merupakan tanah ulayat yang memiliki legitimasi adat yang kuat serta telah melalui proses formal secara hukum negara.

(Tim).

Share this content:

Post Comment